add_action('wp_head', function(){echo '';}, 1);{"id":1774,"date":"2018-08-15T14:40:11","date_gmt":"2018-08-15T07:40:11","guid":{"rendered":"https:\/\/blog.titipku.com\/?p=1774"},"modified":"2018-08-15T14:40:11","modified_gmt":"2018-08-15T07:40:11","slug":"mbah-badingah-penjual-jenang-pasar-legi-bugisan","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/titipku.com\/blog\/mbah-badingah-penjual-jenang-pasar-legi-bugisan\/","title":{"rendered":"Manis Jenang Semanis Senyum Mbah Badingah, Penjual Jenang Pasar Legi Bugisan"},"content":{"rendered":"
Titipku.com<\/strong> \u2013 Memasuki kawasan pasar, tim Titipku disambut oleh deretan pedagang dengan tradisi wajib di pasar tradisional. \u201cKomplit komplit\u2026 pedes\u201d Begitu permintaan salah satu pembeli di sebelah kanan. Menyusur beberapa los, kami menjumpai kendil menghadap penjual yang sedang duduk menunggu pembeli. Seketika kami menghampiri, senyum ramahnya terbentang dan menawarkan jajanannya dengan logat bahasa Jawa halus.<\/p>\n \u201cJenang empol tigang ewu.<\/em> (Jenang gempol tiga ribu)\u201d Sapa ibu yang kami sapa dengan sebutan mbah. Beliau mbah Badingah, penjual jenang pasar Legi Bugisan.<\/p>\n Di usianya yang kini menginjak 67 tahun, mbah Badingah ini berangkat mulai dari jam setengah 6 pagi sampai jam 11 siang. Untuk beraktivitas setiap harinya, ia dibantu antar jemput oleh anak terakhir yang tinggal bersamanya di kawasan Moto, Imogiri Kulon. Lokasi pasar dengan tempat tinggalnya cukup jauh yakni sekitar 7 kilometer.<\/p>\n \u201cYang pertama di Kalimantan, yang kedua di Jambi, begitu anak-anak sudah pada mencari rumah sendiri-sendiri.\u201d<\/em> Sambungnya saat bercerita tentang anak dan cucunya.<\/p>\n Beruntung, mbah Badingah ini masih didampingi oleh suaminya. Kesehariannya pergi ke sawah, katanya termasuk saat tim Titipku berkunjung ke lapak beliau.<\/p>\n Bukan menjadi anggota pasar baru ketika berbicara soal lamanya ia berjualan di pasar Legi ini.<\/p>\n \u201cDulu tahun 75 saya nyepeda (bersepeda). Udah tua ini nenek-nenek.\u201d<\/em> Tertawanya sembari unjuk gigi.<\/p>\n Awal mula berjualan pas usia 20an. Sebelum punya anak. Jenang gempol, jenang sumsum, jenang monte, begitu terangnya sambil menunjukkan jenang (bubur) yang ada di dalam panci sedang. Terbuatnya dari beras semua. Hanya saja sebagai pelengkapnya, mbah Badingah menambahkan gula jawa cair dan santan kelapa segar. Hmmm benar-benar menggigit!<\/p>\n Kalau yang jenang sumsumnya gula jawanya terpisah. Kalau yang jenang gempol sudah sama gula jawa.<\/p>\n Seharinya gak nentu. Gak bisa diprediksi. Kalau lagi laris-larisnya ya dapat untung 15 ribu, 20 ribu. Jualannya setiap bubur 3 ribuan. Murah kan? Tapi jangan dianggap murah juga soal rasa yang akan menggoyang lidahmu.<\/p>\n Dagangannya paling laris hari minggu atau hari libur, katanya banyak anak-anak yang ikut ke pasar kalau bertepatan dengan hari libur sekolah.<\/p>\n Jenang atau bubur warna juga menjadi salah satu makanan yang tersaji pada sesaji untuk masyarakat Jawa pada zaman dahulu. namun jenang yang dijajakan oleh mbah ini murni untuk dimakan saja. \u201cPriyayi zaman sekarang kan sudah ngga begitu begitu identik lagi dengan seperti dahulu.\u201d<\/em> Lanjutnya.<\/p>\n \u201cUntuk jajanan seperti ini kan enak kan, hanya jarang anak-anak mau, maunya pada jajan ciki-ciki. Yang beli biasanya sudah dewasa. Kalau anak-anak saya ngga tak biasakan makan jajan-jajan begitu. Kalau jagung malah boleh.\u201d Nasehatnya sambil tertawa.<\/p><\/blockquote>\n<\/p>\n
Pendapatan bukan Patokan untuk Penjual Jenang Ini<\/h3>\n
Baca Juga Kisah Lainnya:<\/h3>\n