Titipku -Sejak jaman dulu, masyarakat Indonesia sudah memanfaatkan tanaman bambu dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari peralatan masak, bahan bangunan tempat tinggal, hingga peralatan makan. Yang paling heroik adalah pemanfaatan bambu sebagai senjata untuk mengusir penjajah.
Di tangan orang-orang tertentu, bambu dapat dianyam sehingga dapat menghasilkan barang yang fungsional, tetapi juga unik. Bambu yang sudah kering, harus dibelah dan dipotong menjadi super pipih agar bisa dianyam. Salah satu penggunaan bambu yang familiar dengan masyarakat adalah kerajinan anyaman bambu.
Jogja pun masih terdapat banyak pengrajin anyaman bambu. Pun produk-produknya yang bisa ditemukan di pasar-pasar tradisional.
Perkenalkan, Pak Wagimin. Laki-laki berusia 65 tahun yang sangat mahir menganyam bambu. Kemampuannya itu dapat menghasilkan barang-barang fungsional nan unik seperti keranjang dan tambir.
Mungkin banyak dari kalian yang tidak familiar dengan istilah tambir. Bentuknya bundar, sekilas mirip seperti nampan. Kalau jaman sekarang, tambir masih sering digunakan sebagai alas nasi tumpeng.
Tambir juga bisa disebut sebagai aksesoris kuliner. Saat ini memang sudah tidak terlalu banyak yang menggunakan tambir. Kecuali dalam acara-acara tertentu seperti hajatan atau acara-acara dengan tema tempo dulu. Sehingga keberadaannya terlihat unik.
Dulu, di tanah Jawa banyak masyarakat yang menggunakan tambir untuk menyajikan makanan prasmanan.
Ukuran tambir bervariasi. Pak Wagimin dan istri, Bu Sulami, biasanya membuat tambir dengan ukuran 45 cm, 50 cm, 65 cm, dan 70 cm. Oleh pengepul, dagangannya pernah dibawa hingga ke Jakarta dan Bandung.
Di rumahnya yang beralamat di Karang Asem, Pak Wagimin menjadi pengrajin bambu yang menyetor keranjang dan tambir ke banyak pengepul. Harga yang dipatok oleh Pak Wagimin cukup murah. Mulai Rp 7.000, 00 hingga Rp 15.000, 00, tergantung ukuran.
Meski proses pembuatannnya cukup rumit, Pak Wagimin dapat menghasilkan 70 sampai 100 buah kerajinan dalam satu bulan.
Sudah tidak kuat keliling
Sudah lebih dari 50 tahun, Pak Wagimin setia sebagai pengrajin anyaman bambu. Keterampilan itu beliau dapatkan dari orang tua.
Dulu, begitu bisa menganyam bambu, Pak Wagimin langsung fokus di bidang ini. Beliau pun tidak mencoba di bidang lain, sehingga menganyam bambu menjadi satu-satunya mata pencahariannya sampai saat ini.
Namun saat ini Pak Wagimin hanya menyetor anyaman bambu ke pengepul saja. Tidak seperti dulu, yang mana beliau berjualan anyaman bambu secara keliling dan hanya berjalan kaki sambil memikul dagangannya.
Tempat yang disukai Pak Wagimin saat berjualan keliling adalah kawasan perumahan. Menurut Pak Wagimin, di sana dagangannya bisa lebih laku. Berbeda ketika Pak Wagimin berjualan di sekitar kampus.
Faktor usia dan kesehatan membuat Pak Wagimin tak lagi bugar seperti dulu. Kaki beliau sering sakit jika digunakan untuk berjalan jauh.
“Sekarang udah nggak pernah keliling, karena bawanya berat. Belum tentu laku banyak juga. Kalau keliling biasanya sampai UII, Jalan Kaliurang. Kalau ke Jogja naik bis, terus naik Trans Jogja, lalu turun di Kentungan. Mungkin hanya satu bulan sekali karena kesehatan, kaki sudah sakit.”
Ayo Menjelajah!
Titipku telah membantu UKM ini agar masuk pada platform online melalui aplikasi digital. Ayo dukung usaha menengah seperti tambir Pak Wagimin ini agar semakin maju. Sekaligus tetap lestari, karena anyaman bambu merupakan kerajinan yang sangat khas Indonesia banget. Teknologi boleh sudah modern, namun produk anyaman bambu ini layak untuk tidak tergerus zaman.
Melalui Aplikasi Titipku, kalian juga bisa posting usaha UMKM manapun supaya produk lokal Indonesia dapat terdigitalisasi. Titipku membantu digitalisasi UMKM melalui Penjelajah untuk memajukan produk-produk lokal Indonesia. Ayo Menjelajah!
Artikel Kiriman dari Rima Trisnayanti
-
Berawal Dari Usaha Mebel 6 Tahun Hingga Merintis Klakat Dimsum – Titipku 19 August 2019[…] keluarga Parjiono mewarisi keterampilan untuk membuat tampah dari orang tua. Namun, lambat laun ia melakukan inovasi dengan memodifikasi bentuk-bentuk dari […]