2 Tahun Titipku
Titipku.com – Tahun 2016, kami berkunjung ke pasar tradisional di Yogyakarta. Kami melihat banyak pedagang yang beraneka ragam usia, dari muda hingga sepuh (tua). Berinteraksi dengan mereka sambil berbelanja, tentu menjadi kebiasaan warga Yogya. Momen itu membuat kami mendegar banyak cerita. Suka duka dan perjuangan yang mereka alami di masa kini.
“Banyak hiasan manten, yang diimpor dari luar negeri, mas,” keluh seorang pedagang. “Produk asli Bantul tidak laris, karena banyak yang milih produk luar, lebih murah,” imbuhnya. Kami baru tahu, bahwa ternyata banyak sekali produk impor yang sudah masuk ke pasar tradisional. Pembeli tidak tahu bedanya, karena barangnya sangat mirip. Kami pun bingung membedakan batik dalam negeri dan luar negeri. Harganya lebih murah, karena diproduksi massal di pabrik luar negeri. Sementara produk lokal masih dibuat secara manual, satu demi satu, oleh para pengrajin di desa. Tentu saja butuh waktu dan biaya yang lebih tinggi. Akibatnya, produk Indonesia kalah bersaing di pasar.
Kunjungan itu membuka mata kami. Kami pun melanjutkan ke pedesaan dan bertemu banyak UKM. Di Indonesia, tiap desa umumnya ada industri rumah tangga. Kerajinan, fashion, produk pangan, hingga kebutuhan sehari-hari. Kualitas dan desainnya menarik hati. Sayangnya, tidak dikenal luas oleh masyarakat. Bisa karena beberapa faktor. Karena jaraknya yang jauh, sehingga susah dijangkau dan pembeli lebih senang mencari yang dekat.
UKM punya cerita pilu yang lain. Banyak yang harus menerima nasib karena produknya dibeli murah oleh tengkulak. Kalau tidak, tidak laku dan tidak dapat penghasilan. Padahal, tengkulak akan menjual kembali ke pembeli dengan nilai empat sampai lima kali lipatnya. Betapa terhimpitnya UKM sebagai akar rumput di Indonesia. Tertekan oleh produk import dan terhimpit oleh tengkulak.
Sejenak kami berpikir, bagaimana kalau dijual secara online? Apakah online menjadi solusi? Ketika kami membuka banyak marketplace dan e-commerce, ternyata banyak sekali produk import. Produk lokal yang sudah masuk online hanya sekitar 10%. Data dari Google tahun 2017, hanya 5% produk Indonesia yang terjual di online, dari nilai transaksi sekitar Rp 2 Trilyun. UKM yang sudah go online, baru mencapai 15%. Sebagian besar pedagang online menjual produk dari supplier, yang ujung-ujungnya dari luar negeri alias impor.
Hal ini mengkhawatirkan kami. UKM sebagai akar rumput, juga menjadi sumber penghasilan Indonesia yang paling besar. Kalau UKM kalah dalam bersaing, maka ekonomi Indonesia akan tertinggal. Indonesia hanya menjadi negara konsumen, bukan negara produsen.
Akhirnya, kami memutuskan bahwa ini adalah momen yang tepat. Saatnya anak-anak muda membantu UKM masuk digital. Banyak pemilik UKM yang masih kesulitan karena tidak punya smartphone dan kurang memahami digital marketing. Padahal, anak-anak muda Indonesia sangat lancar bermain internet.
Adalah aplikasi Titipku sebagai solusi yang kami ciptakan bersama. Aplikasi yang mana anak muda generasi millenial dapat membantu UKM go digital, semudah bermain sosial media. Semua UKM yang masuk harus asli Indonesia. Produk, lokasi, pemilik dan cerita UKM ada di “Titipku”. Semua produk dapat dibeli dalam dan antar kota.
Inovasi terbaru, semua pasar tradisional di Yogyakarta, ada di “Titipku”.
Kami bersyukur respon dari masyarakat Jogja sangat positif. Banyak sekali UKM yang masuk. Pembeli yang mencoba Titipku juga sangat banyak. Tidak pernah kami mengira bahwa rasa cinta dan dukungan ke UKM sangat tinggi.
Bulan ini kami merayakan ultah ke-2. Kami bersyukur dapat melewati setiap tahap bersama-sama. Semua pengalaman, ide, saran, dan kritik dari Anda menjadi pelajaran yang berarti bagi kami. Kami bersyukur karena masyarakat Indonesia sangat peduli UKM. Kami berdoa agar semua UKM berkembang bersama Titipku.
Sudah saatnya Titipku hadir di seluruh Indonesia. Kami berharap semua pasar tradisional dan UKM seluruh Indonesia dapat kami hadirkan untuk Anda.
Terima kasih Anda mendukung UKM asli Indonesia.
Karena Anda, kami ada.
#2tahunTitipku
Penulis : Henri Suharja, CEO Titipku