Jualan ala orang tua itu terserah, buat hiburan. kalau hanya di rumah stress.
Titipku.com – Perjalanan di pasar Kolombo kami lanjutkan untuk singgah ke salah satu kios khusus kerupuk. Ya, kerupuk yang bergantung, kerupuk dengan wadah plastik jumbo, hadir di sekitar nenek ini. Namanya mbah Jum, sosok wanita tua yang masih saja suka bercanda. Memang mungkin disinilah daya tarik pembeli, selain pada kerupuknya yang beraneka ragam, beliau juga ramah menyapa pengunjung dengan candaannya.
Sebagaimana pedagang pagi lainnya, beliau mulai menata dagangannya dari jam 6 pagi. Usainya selepas dhuhur, sekitar jam 12. Bukan main, pasar Kolombo yang lokasinya berada di jalan Kaliurang Sleman, beliau pulangnya di Bantul, di jalan Imogiri barat dekat Stadion Bantul.
Perjuangan mbah Jum meniti jalan sedari dulu kini sudah semakin ringan. Untuk kesehariannya beliau diantar anak. Katanya sudah tidak berani seperti dahulu karena lokasinya cukup jauh. Mbah Jum khawatir karena kendaraan juga semakin banyak lalu lalang di kota Istimewa. “Antar jemput sekarang, Paud, pulang pergi dijemput.” Tawanya memecah konsentrasi kami saat ingin tahu lebih lanjut.
Melihat beberapa meter lapak yang dihuninya, beliau menanggapi bahwa kios yang ia tempati ini sudah tidak lagi sewa. “Dulu bayarnya 65 ribu sama bangun, tapi tetap saja ada jangka waktunya kalau sekarang. Per lima tahunan kontraknya. Begitu katanya baru kemarin rapat, jadi harusnya dulu selamanya ditempati, tapi sekarang setiap lima tahun bayar. Padahal kan sudah saya beli, tapi gitu lagi kebijakannya pemerintah. Entah simbah saja bingung.” Katanya sambil mulai memasukkan kerupuk yang kami pesan.
Kalau jualannya sendiri, ada berbagai jenis kerupuk yang bisa disesuikan dengan seleramu. Bisa jadi camilan, bisa juga menjadi teman makan. “Jualannya ya seperti ini ada kerupuk legendar, lemper, telo, kerupuk dari pati, sukun, peyek.” Terangnya.
Nah kami juga penasaran, mbah Jum ini sepertinya sudah sangat akrab bahkan seolah ada ata tersirat pasar Kolombo juga seperti rumah di pagi hari. “Disini sudah ada sebelum PKI datang. Nah pokoknya PKI datang itu saya sudah jualan disini. Dari dulu saya jualan kesini naik sepeda onthel. Ngayuh sendiri dari Imogiri, jauhnya sekarang ya dirasa dekat karena pakai motor cuma 1 jam. Itu kalau sekarang, kalau dulu ya engga dari jam 4. Apalagi sebelum ada ring road. Sekarang lewatnya ya lewat ringroad juga.” Jelasnya saat bercerita dengan antusias.
“Sekarang sudah ngga ada barang laris. Yang penting laku saja sudah senang saya. Kalau pada awalnya jualan lempeng, legendar. Ini semua ada yang setor kesini.”
Berkomunikasi dengan mbah satu ini keren sekali rasanya. Wawasan beliau luas. Bukan hanya kami yang bertanya kepada beliau, beliau pun tanya balik kepada kami. Tentang studi, asal, keluarga, harapan, wisata, kerajinan dan lainnya. Tidak kami duga juga, beliau juga bercerita tentang pengalamannya naik pesawat, bukan Jogja-Jakarta, melainkan Jakarta-Mekah!
“Sekarang usia saya udah banyak, ngga inget malah saya usianya berapa. Candanya membongkah suasana. Orang dulu kan yang di prioritaskan bukan pendidikan to mbak, apalagi orang orang dulu seperti saya kan dulu buat makan saja susah. Mau ngapain aja susah. Orang sekolah kan jarang mbak yang pake sepatu adanya sendal jepit saja bersyukur.” Lanjutnya.
Sembari menimbang dan mengemasi kerupuk yang kami beli, beliau sempat ceritakan cucunya yang sedang berkuliah di salah satu universitas swasta di Jogja. Katanya, cucunya ini jurusan akuntansi. Mungkin karena melihat tampilan kami dengan membawa tas ransel punggung dan mengingatkannya pada cucu beliau.
“Kalau mbah kakung dah ngga ada sejak tahun 81. Sejak anak saya ada yang masih 7 bulan. Sekarang cucu saya sudah banyak. Heheh”Imbuhnya soal mbah Kakung, almarhum suami beliau.
“Kalau di rumah ngga jualan saya… istirahat. Ya senang di pasar gini mbak hiburan, buat nyari hutangan gampang. Kalau di rumah nyari hutangan woooh cabe 2000 saja susah banget. Kalau disini saya cari sisaan ya banyak. Lagian kalau di rumah kadang masak kadang enggak. Nggak mesti masak saya. Paling seminggu sekali 😀 Lha wong orang satu saja.” Kembali candanya memecah riuhnya suasana.
Penghasilannya nggak mesti. Larisnya ya nggak mesti hari apa sekarang. Katanya lebaran kemarin juga ngga selaris dulu. Pasalnya saat ini sudah banyak sekali yang jualan serupa. Kalau dulu kan hanya beliau saja, katanya.
Tidak heran, jiwa wirausaha memang sudah banyak dimiliki oleh orang. Sekarang yang deket banyak, yang muda juga banyak yang jualan. Simbah masih terlihat semangat, katanya”Modalnya seneng!”
“Ingat jaman sepedaan dulu itu waktu saya sekarang sudah ngojek itu ternyata jauh juga. Jadi jualan di sini juga saya nggak ngerti bisa rejekinya di sini. Dulu kan sepedaan onthel itu keliling. Ya gimana lelakon ya kudu dilakoni (ungkapan: apapun ya harus dijalani)”
Lanjut, memang mbah Jum ini senang berbagi cerita untuk anak muda yang mendatanginya, beliau juga bercerita kisah awal berjualan di pasar Kolombo.”Dulu kadang berangkat jam 4, kadang mampir subuhan di jalan. Sampainya nggak mesti, sesampainya saja. Nggak keburu kok sante saja. Kepanasan dulu kan pakai caping, kalau sekarang pake helm. Dulu ya pakai caping, sudah nyaman ya pantas-pantas saja (untuk penampilan)”
Berwirausaha ala mbah Jum ini memang sepertinya seru. Bahagia terus. Begini terangnya “Wirausaha tu ya bebas, mau berangkat boleh mau nggak berangkat juga boleh. Dapat sedikit ya boleh, dapat banyak ya boleh. Barang laku terus nggak ada yang nggak renyah. Rugi ya biasa, yang penting tetap laku. Kalau laris sekarang sudah tidak ada barang laris. Yang penting dijual laku.”
“Kalau dulu jualan ada roti-roti, roti kiloan, roti kering, sekarang sudah engga. Sudah ngga PY, alias payu (laku).” 😀 pungkasnya tentang usaha beliau. Belum berakhir, beliau juga sempat memberikan nasihat dan doa kepada kami yang singgah di lapak beliau.
Sebuah ‘kuliah lapangan’ berharga yang kami petik di pagi hari saat berkunjung pasar Kolombo, Yogyakarta: perjuangan mbah Jum.