Titipku.com – Pagi itu kami menyapa pagi dengan singgah ke salah satu destinasi unik bernama Pasar Kaki Langit. Pasar Kaki Langit menjadi bagian dari desa wisata yang digagas oleh padukuhan Mangunan, salah satu wilayah di Jogja Lantai 2. Untuk mencapai ke lokasi, kami, tim Titipku menyusur jalan dari kota melalui jalan Imogiri Timur dengan waktu sekitar setengah jam pada hari (Sabtu 20/10/2018)
Beruntung pada pagi itu kami berkesempatan untuk berjumpa dengan salah satu pengelola yakni pak Suparman. Pasar Kaki Langit ini ternyata masih muda. Kawasan ini dibuka dari tanggal 23 Desember 2017, belum ada satu tahun bukan tapi sudah se-keren ini!
Ide awal desa wisata kaki langit tidak lain bermula dari pengelola. Gagasan-gagasan dari masyarakat dikumpulkan lalu dirembug dan diputuskan untuk ini. Ada kelembagaan, ada pengelolaan, ada pokdarwis. Pokdarwis menaungi yang di desa, sementara pengelolaannya kaki langit hanya ada di padukuhan Mangunan.
Sebagai pengelola, pak Suparman bersama lima rekan lainnya mengelola pasar kaki langit ini sudah menjadi tugas hariannya. Beliau merangkap kegiatan setiap hari Sabtu dan Minggu mulai dari jam 6 pagi hingga jam 12 siang. Pengelolanya memang terlihat sedikit, namun anggotanya sendiri ada banyak lho.
Pedagang dengan Kuliner Khasnya
Untuk pedagangannya sendiri ada 12 lapak dengan sajian kuliner yang berbeda-beda. “Pada awalnya saat pendaftaran ada beberapa orang, namun sekarang ini baru bisa menyediakan 12 lapak belum ada penambahan. Awalnya penawaran lapak dengan segala fasilitasnya banyak sekali yang berminat yakni ada sekitar 30. Namun pada akhirnya kami acak, kami pilih yang memungkinan.” terang pak Suparman.
“Ini benar-benar untuk pemberdayaan masyarakat. Yang sudah ada homestay, yang sudah punya warung yang lain, yang mungkin hidupnya sudah layak tidak kami diberi fasilitas ini. Ini benar-benar untuk yang membutuhkan pekerjaan sampingan.”
Keunikan Koin Kayu sebagai Uang Pembayaran
Ide unik lagi dari pasar Kaki Langit ini adalah koin kayu. Gagasan ini rupanya diambil dari jaman Majapahit dulu. “Pada jaman Majapahit kan belum ada uang. Kalau waktu dulu belanja pakai kreweng atau pecahan genteng. Kami ubah, kalau untuk pecahan genteng untuk meminimalkan rupiah kami ubah untuk koin.” Ia menambahkan bahwa untuk meminimalisir rupiah itu mereka agak kesulitan. Termasuk masyarakat sekitar juga agak kesulitan. Sehingga untuk belanja harus menukarkan dengan koin kayu tersebut. Masyarakat disini juga telah diedukasi kalau mau belanja harus ditukarkan dulu dengan koin ini.
“Jangan sampai tamu datang, belanja dengan tukar koin justru masyarakat tidak tahu. Harusnya masyarakat sini belanja nya juga pakai koin. Makanya kami ganti dengan menggunakan koin tersebut. Balik ke jaman Majapahit.”
Makanannya Edisi ‘Jadul’
Khusus makanan di kaki langit ini sajiannya spesial dengan makanan tradisional yang hampir sudah tidak ada sekarang. Berkat pasar Kaki Langit ini pengelola berhasil eksiskan kembali makanan edisi ‘jadul’ tersebut. Adapun makanannya seperti jenang/bubur, makanan dari ketela, nasi jagung, nasi merah, dan thiwul. “Di sini adalah khusus makanan lokal, tidak boleh masuk makanan yang lain. Kalau makanan yang sachetan, minuman kaleng, tidak diperbolehkan berada di lokasi pasar kaki langit ini. Kopipun, kopinya harus kopi hitam. Jadi balik ke tradisional.”
Selain itu, ada kantong yang bisa dijadikan wadah koin tersebut. Kantongnya cukup menarik dengan warna cokelat yang mewakili warna kayu. Tidak lain tidak bukan adanya kantong ini adalah mengikuti tren jaman dulu. Ingat film legenda-legenda jaman dahulu sering kita lihat kantong kain seperti itu. Hanya memang tidak dibuat yang tradisional sekali seperti jaman dulu. Lebih untuk brand saja.
Baca Artikel Lainnya:
- 5 Kuliner Murah Merakyat Tetapi Enak di Yogyakarta
- Beringharjo Tak Hanya Batik, Cecapi 10 Kuliner Ini
Di Balik Nama Kaki Langit
Sebelum dinamakan kaki langit, dahulu namanya pasar Semi alias Setu Minggu. Namun akhirnya berganti nama menjadi Kaki Langit. Nama kaki langit bukanlah sekedar nama biasa. Awalnya untuk pemilihan nama ada beberapa pengajuan, namun akhirnya dipilih ‘kaki langit’ tersebut.
Filosifinya, “Kaki adalah kita melangkah, langit adalah simbol dari cita-cita yang tinggi. Jadi melangkah untuk meraih cita-cita setinggi langit.” Tutur pak Suparman yang membuat kami langsung tergetar dengan ide penamaan tersebut. Kaki langit ini sendiri juga dibagi menjadi beberapa 8 langkah. Ada atap langit, rasa langit, budaya langit, langit terjal, langit ilalang, karya langit, langit cerdas, dan langit hijau.
Atap langit adalah homestay yang biasanya digunakan untuk anak-anak yang makrab. Rasa langit adalah kuliner atau makanannya, yang mana yang paling terkenal disini adalah gudeg manggarnya. Budaya langit adalah budaya yang diangkat dari wilayah Mangunan seperti gejuk lesung, wayang, ketropak, dan lainnya. Sementara itu ada langit terjal yakni jeep untuk eksplore desa Mangunan. Outbound masuk pada kategori langit ilalang, yang mana nanti di handle oleh pemuda ketika ada tamu ke sini. Ada juga karya langit yang menaungi kerajinan seperti koin, juga beberapa karya lainnya yang kita kumpulkan sebagai karya langit lainnya.
Berikutnya ada langit cerdas, untuk masyarakat yang ingin belajar nanti pemudanya mengadakan les-les, juga simulasi untuk rumah limasan yang merupakan revitalisasi gempa dahulu. Rumah limasan ini bisa di bongkar pasang, untuk pembelajaran anak-anak sekolah, mahasiswa, yang ingin belajar di sini masuk ke langit cerdas. Terakhir, ada langit hijau yang merupakan hutan rakyat dan dikelola oleh masyarakat untuk obyek wisata misalnya di sini ada obyek wisata Watu Lawang, edukasi menanam padi, dan lainnya. Semua bidangnya sudah terbagi-bagi dengan tujuan masing-masing pengunjung.
Presiden Sudah Ke Pasar Kaki Langit Ini!
“Di Mangunan kriterianya sudah pas bahkan sudah dikunjungi oleh petinggi seperti pak Bupati, pak Gubernur, pak Menteri, bahkan bapak Jokowi selaku presiden Republik Indonesia sudah berkunjung ke pasar kaki langit ini. Kemarin sudah di launching pak Menteri.”
Tidak puas dengan kunjungan para petinggi saja, beliau tetap menuturkan pentingnya evaluasi setiap harinya, misal pada cita rasa makanan yang tetap harus dipertahankan. Kekurangan pasti ada, nah bagi siapapun yang memberikan kritik dan saran membangun akan ditampung dan didiskusikan bersama pengelola saat pertemuan.
Paling menarik di sini selain makanan adalah homestay. Homestay di sini selain tersedia kamar juga ada aula. Aulanya biasanya digunakan untuk anak-anak makrab. Sementara kamarnya adalah untuk tamu khusus. Ciri khasnya adalah limasan dan joglo. Setiap homestay yang ada di sini pasti pendoponya seperti itu.
“Kami mengenalkan desa wisata mulai dari tahun 2015. Kami kenalkan ke masyarakat dan ternyata hingga tahun 2017 mendapat predikat peringkat 3 tingkat nasional untuk desa wisatanya. Homestay-nya juara 5 tingkat nasional untuk sekitar 56 peserta. Untuk kaki langit ini baru mengajukan belum ada pengumuman. Selain itu, di sini untuk kamar mandinya juga tinggal pilih mau yang segar atau anget-anget juga ada.”papar pak Suparman.
Embrio yang Langsung Berkembang
Jika ditilik Mangunan ini memang seperti embrio yang langsung berkembang. perkembangannya cukup pesat dengan sejumlah prestasi yang diraihnya dalam tingkat nasional.
“Kalau penambahan lahan sementara ini dulu, yang paling krusial adalah lokasi parkir. lahan parkir memang terlalu ssedikit untuk jumlah pengunjung yang selalu bertambah dan penasaran dengan kaki langit ini. biasanya lapangan itu untuk camping atau outbound anak-anak. ke depannya jelas ingin ditambah. Keinginan terbesar dari pengelola masyarakat bisa merasakan ekonominya bertambah dari adanya desa wisata ini.”
Jumlah pengunjung Kaki Langit ini setiap saat terus mengalami peningkatan. Rata-rata ada sekitar 350-400 pengunjung untuk dari jam 6-12 siang. Pengunjungnya tidak hanya warga lokal saja namun turis domestik berbagai kota luar Jogja. Ada juga pengunjung dari mancanegara, Korea, Malaysia, Filipina, Arab Saudi, dan lainnya.
Harapan untuk Mangunan yang Lebih Baik
“Harapannya bisa semakin maju untuk menambah pendapatan masyarakat dari adanya pengelolaan ini. Kembali ke masyarakat pada intinya. Untuk sementara ini semua pengelolaan langsung dari masyarakat desa sendiri, belum ada penambahan dari luar wilayah desa. Pengelola sama dengan Relawan. Biar mapan dulu masyarakatnya.”
Kostum yang dikenakan juga ‘nJawani’ yakni dengan berbalut kebaya dan batik, tidak lupa kain jarik untuk bawahannya. Kata pak Suparman kostumnya masih punya pribadi untuk seharinya (Sabtu-Minggu). Nah barulah kalau yang ada tamu khusus mereka berseragam.
Saat ini lapak yang diberikan merupakan swadaya dari masyarakat dan belum ada sewa lapak untuk pedagang. Pendapatan atau pemasukan dari semua kegiatan nantinya akan dibagi. Berapa persen untuk pengelola, kegiatan, dan lainnya. Pendapatan paling minim untuk dua kali pasar ini tidak kurang dari tujuh juta. Untuk per pedagangnya sekitar 300ribu dalam waktu berapa jam. Benar-benar membantu masyarakat!
“Relawan ya dibayar hasil pembagiannya saja sudah senang masyarakat punya banyak pendapatan.”
“Saya nggak nyangka mangunan jadi seperti ini. nggak mimpi yang dulu seprti apa sekarang jadi apa. yang mana dulu saya merasakan sekolah itu jalan dan dikatain orang gunung makannya nasi jagung. tapi sekarang keadaan terbalik. Ambil sisi positifnya untuk mereka yang selalu merendahkan masyarakat desa.” pungkasnya. – Titipku
Dibalik kisah pasar Kaki Langit yang semakin melangit!
-
FKY 2019 Kini Menjadi Festival Kebudayaan Yogyakarta – Titipku 23 July 2019[…] 5000 rupiah akan ditukar uang 5 Kethip, jika 10 Kethip maka artinya 10.000 rupiah, dst. Penggunaan koin Kethip ini sebagai pengingat alat pembayaran zaman Mataram […]
-
12 Pasar Unik di Indonesia, Betapa Kaya Negeri Kita Ini! – Info UKM Titipku 01 November 2018[…] Baca Juga Pasar Kaki Langit Jogja, Bayar Gak Pakai Uang! […]