Titipku – Hari pendidikan nasional yang diperingati setiap 2 Mei sering menempatkan bapak pendidikan, Ki Hadjar Dewantara dalam bingkai persoalan pendidikan saja. Padahal ada banyak kisah beliau yang perlu ditelisik seperti episentrum kebudayaan seperti musik.
Tahun 1913, menjadi titik kulminasi kegeraman beliau terhadap penjajahan Belanda di negeri ini. Ia menuliskan artikel berjudul Ask ik een Nederlander was yang artinya Andai saya orang Belanda sebagai bentuk kritik atas kebijakan yang mengharuskan orang-orang Indonesia turut merayakan seratus tahun kemerdekaan Belanda.
Bagi seorang Ki Hadjar, hal tersebut memalukan dan wujud penghinaan. Bagaimana bisa perayaan hari kemerdekaan digelar di atas penderitaan kaum terjajah lain? Bahkan pesta itu harus dibiayai oleh masyarakat Bumiputera. Dikarenakan artikel tersebut, Ki Hadjar harus dipenjara pada usia 24 tahun dan diasingkan ke Belanda.
Cenderung Politis
Sadar bahwa perjuangan dengan mengkritik pemerintah kolonial secara langsung dinilai terlalu berisiko, maka Ki Hadjar beralih pada aspek kebudyaan dan seni, terutama musik.
Pada kurun waktu itu, masyarakat koloni dan Eropa menganggap musik dari bangsa terjajah sebagai kebudayaan rendah alias ‘tidak beradab’. Ki Hadjar merasa perlu memberi perlawanan dalam konteks ini. Apabila musik klasik Barat dipandang sebagai musik mutakhir tercanggih, maka ia mencoba mengadopsi konsep-konsep dibaliknya untuk diaplikasikan pada musik Jawa, gamelan.
Ki Hadjar mulai intens mengungkap dan mengkomunikasikan nilai-nilai filosofis dalam musik gamelan. Ia memandang bahwa musik gamelan merupakan cerminan jati diri masyarakat halus budi pekertinya. Karena itu, kemudian mengubah format tampilan gamelan menjadi lebih ‘modern’, eksklusif dan perlente. Para pemain gamelan mulai menggunakan jas, dasi, sepatu, layaknya pemain musik Barat. Lewat musik tradisi, Ki Hadjar hendak berbicara tentang kesetaraan.
Nada-nada dalam musik berbalut dengan perjuangan yang cenderung politis. Musik tidak lagi dimaknai sebagai bunyi, melainkan lebih dari itu. Uniknya lagi Ki Hadjar tidak semata meniru konspe dan cara kerja musik Barat namun juga memberi guratan kritik.
Ia menyatakan bahwa notasi atau partitur dalam musik barat sejatinya seringkali membuat musisi kehilangan’rasa’ dalam bermain musik. Idealnya,notasi hanya menjadi acuan dasar dan tidak mengikat. Musik merupakan ruang dimana nilai-nilai kemanusiaan atau humanisme ditorehkan. Namun perjuangan Ki Hadjar dalam hal ini juga banyak dikritik karena ia dianggap tidak lagi netral dalam melihat musik.
Musik terlalu riuh dan sesak dengan kepentingan atau agenda politis. Ki Hadjar terlihat seolah berusaha ‘mengEropakan’ musik gamelan, lalu kehilangan sifat-sifat kealamiannya, semata demi mendekonstruksi pandangan kolonial tentang kebudayaan ‘tak beradab’.
Apa yang dilakukan Ki Hadjar merupakan upaya dalam mendudukkan musik pada bingkai nasionalisme. Sebuah usaha yang patut diapresiasi.
Sekolah Gamelan
Pertanyaannya kenapa gamelan yang harus dipilih? Selain Ki Hadjar lahir dari kebudayaan Jawa dan berdarah ningrat, gamelan dibaca sebagai instrumen perkusif terbesar di dunia. Yang didalamnya mempunyai seperangkat ilmu pengetahuan yang kala itu belum banyak terkuak. Karena kerja Ki Hadjar tersebut, ilmu dan teori mengenai gamelan semakin tumbuh. Kajian konsep gamelan (pathet, emat, laras, kontur melodi) satu persatu dituliskan dan mulai muncul ilmual gamelan dalam negeri.
Titik terpentingnya, pada tahun 1950 lahir sekolah gamelan bernama Konservatori Karawitan Indonesia (Kokari) di Surakarta. Musik gamelan tidak lagi dipandang sebelah mata.
Perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam konteks ini dapat dikatakan berhasil. Karena itu, apabila saat ini kita dapat membaca buku-buku tentang musik gamelan, mendengar dan bermain gamelan, tidak lain salah satunya adalah karena jasa dari Ki Hadjar Dewantara.
Di satu sisi, perjuangan dalam mengangkat martabat musik tradisi kala itu membutuhkan perjalanan panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Tapi di sisi lain, hari ini kita melihat satu kenyataan bahwa musik gamelan semakin kehilangan eksistensi. Generasi milenia menganggap gamelan dan musik tradisi lain sebagai barang kuno, usang, udik (ketinggalan zaman).
Saat di zaman Ki Hadjar, perjuangan terbesar musik adalah melawan hegemoni Belanda dan Eropa, kini perjuangan terberatnya adalah misi penyadaran bagi generasi penerus negeri.
Selamat Hari Pendidikan!
(Artikel asli oleh Aris Setiawan, Etnomusikolog, Pengajar ISI Surakarta) sumber: KRJogja