Kembang waru adalah penganan khas Kotagede Yogyakarta, Jawa Tengah. Rasa dan filosofi di balik kue berbentuk bunga ini unik dan istimewa.
Dikutip tabloid Saji edisi 368, penggunaan terigu dalam adonan kue ini menunjukkan pengaruh kuat budaya Eropa yang diperkenalkan Belanda pada zaman kolonial. Kala itu, terigu adalah bahan dasar mewah, tak heran jika pada masanya kembang waru adalah kudapan mewah. Biasanya dijadikan persembahan bagi Raja Mataram, atau hanya dapat ditemui pada perayaan khusus.
Filosofi di balik kembang waru juga menarik. “Kembang waru. Kembangnya Mesti delapan. Nasihat daripada pendahulu tentang delapan jalan utama atau Hasto broto yaitu 8 jalan utama. Diibaratkan 8 elemen penting yaitu matahari, bulan, bintang, mega (awan), tirta (air), kismo (tanah), samudra, dan maruto (angin). Oleh karena itu siapa yang makan kembang waru harus bisa menjiwai dan mengamalkan 8 delapan jalan utama,” papar Mulyadi pegiat kembang waru dikutip Liputan6.com
Seiring waktu, kue ini menjadi semakin terjangkau oleh masyarakat luas. Meski masih jadi primadona dalam perayaan khusus, kembang waru sudah bukan makanan khusus raja lagi.
Kembang waru berwujud seperti bolu basah. Dulu, kue ini menggunakan bahan tepung ketan dan telur ayam kampung. Dua bahan ini membuat rasa yang istimewa. Kini, dua bahan itu mahal harganya, bahan pun dimodifikasi. Bahan adonan kembang waru kini terdiri dari telur ayam, tepung terigu, gula pasir, soda vanili, dan susu.
Setelah mencampur seluruh bahan, adonan kemudian dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk bunga yang sudah dioles mentega. Setelah itu adonan dipanggang di atas nampang berbahan kuningan yang diletakkan di atas arang. Lebih dari satu jam kemudian, kembang waru pun matang. Warnanya kuning keemasan, rasanya empuk, manis, sedikit renyah di bagian tepi.
Dari sajian raja, terjangkau bagi rakyat jelata, belakangan kembang waru mulai langka. Hanya ada sebagian wilayak Kotagede yang masyarakatnya masih membuat kembang waru dengan cara tradisional. Di antaranya beberapa warga di Kampung Bumen, dan Kampung Basen, Kotagede, Yogyakarta.
Sadiman (72) adalah salah satu pembuat kembang waru yang masih aktif memproduksi penganan ini, sejak 30 tahun silam. Dulu ia memimpin 11 pembuat kembang waru. Saat ini kelompok itu sisa dua orang saja anggotanya.
Selain Sadiman, ada pula Basis Hargito, pegiat kembang waru sejak 1983 silam. “Hingga saat ini saya masih membuatnya dengan cara tradisional dan alat-alat tradisional,” ujar pria berusia 71 tahun tersebut.
Komunitas Jelajah Pusaka Kotagede mencatat, pada 2012 tercatat ada 18 orang pegiat kembang waru. Pada 2016, jumlah ini hanya tersisa 8 orang saja. Meski terus terkikis, semangat melestarikan kembang waru masih terus ada.
Salah satunya terlihat lewat gelaran acara 2016: Kembang Waru Bersemi di Kotagede yang digagas Paguyuban Dimas Diajeng DIY. Acara tersebut turut menghadirkan perwakilan dari Asosiasi Pengusaha Jasaboga Indonesia (APJI), Indonesia Chef Association (ICA), dan pegiat kembang waru. Mereka berkolaborasi berupaya merumuskan cara untuk mengenalkan kembali kembang waru pada masyarakat Yogyakarta.
Dari acara tersebut, terungkap kesimpulan bahwa inovasi adalah kunci. Ukuran, bahan, dan warna adalah unsur yang dapat dimodifikasi. “Tepung terigu bisa diganti tepung lokal. Untuk warna bisa digunakan pewarna dari buah lokal seperti buah talok merah yang banyak di sekitar Kotagede,” pungkas Rudi haryanto dari ICA.
Bagi nitipers yang mau beli bisa nitip beli di Titipku
HARGA JUJUR – LANGSUNG PRODUSEN
Yuk hubungi kami di
Line : Titipku
WA : 085725364222
.
Titipku.com – Nitip Dong!
Sumber : https://beritagar.id/artikel/piknik/mengenal-kembang-waru-dari-kotagede-yogyakarta