Jika Anda bagian dari generasi yang menghabiskan masa kecil di era 80-90-an, mungkin Mbok Jajan akan menarik minat Anda. Ini sebuah toko yang menjajakan beraneka ragam jajanan dan mainan tempo dulu, lengkap dengan suasana dan pernak-perniknya. Terletak di Jalan Ireda nomor 181 A Yogyakarta, bisnis ini sudah berdiri sejak Juli 2014.
Awalnya Mbok Jajan adalah toko online, yang kemudian berubah menjadi toko fisik. “Ini semua berkat konsumen yang telah membesarkan kami,” ucap Dwinda Aneswari Trisnaningtyas selaku pemilik Mbok Jajan.
Sebagai toko online, produk yang dijual hanya sepuluh jenis, belum sebanyak sekarang yang jenisnya mencapai ratusan. Konsumen banyak memberikan referensi dan permintaan soal jenis jajanan dan mainan tempo dulu yang tidak dialami oleh Dwinda, dan ia berusaha untuk mewujudkannya.
Kini setiap akhir pekan dan hari libur, toko Mbok Jajan dipadati pembeli yang berasal dari Yogyakarta maupun luar Yogyakarta. Peminatnya melalui media sosial, terutama Instagram telah merambah ke seluruh Indonesia, bahkan ke mancanegara, yakni Malaysia, Singapura, dan Hongkong.
Dalam sehari, jumlah produk yang dijual bisa mencapai 30 lebih, yang sudah tercakup melalui pembelian online dan offline. Jajanan dan mainan dijual dengan kisaran harga Rp 1.000,00 – Rp 250.000,00. Omzet yang diraup dalam sebulan bisa mencapai belasan juta rupiah.
Seiring perkembangannya, Mbok Jajan juga melayani pemesanan bingkisan untuk beragam acara, mengadakan pelatihan cara membuat mainan zaman dulu, menerima kunjungan edukasi dari anak-anak TK dan SD maksimal 20 orang dalam satu grup, dan menjadi event organizer atau mendekorasi berbagai acara bertema tempo dulu.
Mereka pun diundang setiap tahun oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta untuk mengisi stand lima hari terakhir di Festival Kesenian Yogyakarta secara gratis dan mengikuti Pekan Kebudayaan ASEAN 2016 di Singapura.
Cara yang ditempuh oleh Dwinda untuk memperoleh jajanan dan mainan tempo dulu adalah jalan-jalan ke berbagai daerah di Indonesia. Sebelum pergi ke suatu tempat, ia terlebih dahulu menelusuri Google untuk mencari jajanan dan mainan dari daerah tersebut. Mainan buatan tangan yang ia dapatkan lalu ditunjukkan kepada pengrajin di Yogyakarta, kemudian ditanya kesanggupannya untuk membuat produk serupa. Mainan buatan tangan yang paling laku adalah wayang. Untuk mainan dari plastik masih diproduksi di beberapa pabrik dengan jumlah terbatas. Gembot menjadi mainan dari plastik yang paling laris.
Adapun jajanan diperoleh dari pabrik-pabrik dengan cara lobi, perjanjian, dan kerjasama. Anak Mamee dari Banjarmasin menjadi jajanan yang paling diincar oleh konsumen. “Anak Mamee termasuk langka, hanya ada tiga bulan sekali. Biasanya 20 dus sudah habis dalam waktu kurang dari seminggu,” ujar Dwinda.
Salah seorang pembeli, Latifah Dewi Nursita, mengakui bahwaMbok Jajan membuatnya bernostalgia ke masa kecil. “Sekarang sangat sulit menemukan jajanan dan mainan tempo dulu. Apalagi berada di satu tempat seperti ini,” imbuhnya.
Program selanjutnya yang ingin dilakukan oleh Dwinda adalah memiliki food truck dan membuka kampung dolanan Mbok Jajan. Mbok Jajan akan mengunjungi kota-kota di Indonesia dengan jumlah pembeli online yang cukup banyak. “Misal, kami datang ke Jakarta terus nongkrong di Monas selama tiga hari,” ungkapnya. Kampung dolanan Mbok Jajanan merupakan lahan wisata yang bernuansa jadul. Disana para pembeli akan berinteraksi langsung dengan para pengrajin lokal dan bisa langsung memainkan permainan tempo dulu.
Menurut Fadly Rahman, pegiat kajian panganan yang menjadi staf pengajar di Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran, kemunculan Mbok Jajan merupakan salah satu fenomena pergeseran gaya hidup konsumsi. Masyarakat kembali tertarik untuk mengkonsumsi jajanan jadul.
Ia menambahkan bahwa Mbok Jajan dapat menjadi oleh-oleh alternatif Yogyakarta. “Jika biasanya para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta mencari bakpia atau gudeg, kini mereka bisa datang ke Mbok Jajan untuk menikmati keunikan yang ditawarkan.”