Titipku.com – Sebuah pasar yang lokasinya berada di kawasan kampung turis. Pasar Prawirotaman namanya. Pasar ini merupakan salah satu pasar dengan kepadatan pedagang dan pengunjung setiap paginya. Untuk menilik kawasan pasar prawirotaman ini cukup mudah. Ketika kamu menyusur jalan Parangtritis, temukan keramaian becak dan lalu lalang orang di kiri jalan. Dari muka pasar, deretan pedagang penjual dagangan pasar cukup menghiasi pagi itu.
Menapaki jalanan dalam pasar, para pedagang menyambut kami. Usai berkeliling hingga ke ujung pasar kios ikan segar. Kami berbelok ke kanan jalan dan menjumpai pedagang usia lanjut. Ya, lagi-lagi wanita yang usianya sudah senja. Pada pagi itu ia hanya seorang diri, kanan-kirinya tak ada siapapun.
Mbah Wasini, begitu sapa hangatnya saat menjumpai kami. Beliau berjualan umbi-umbian. Spesial ketela pohon atau singkong, ketela rambat, dan sejenis talas.
Dalam kondisi yang tidak begitu sehat, beliau tetap semangat dan tak keluh untuk mengayuh sepeda dari Sewon, Bantul. Berbeda dengan dulu, beliau tidak membawa pulang pergi dagangannya. Ia benar-benar hanya kayuh sepedanya saja setiap pagi dan siang hari selepas dhuhur sesuai jam tutupnya pasar menuju tempatnya kembali.
Berbeda dengan pedagang sayur yang biasanya sudah berada di lokasi pagi buta, beliau berada di lokasi jam 8 pagi. Kalau pulangnya selepas dhuhur sekitar jam 1 siang. Begitu rutinitasnya setiap hari. Kebetulan manakala kami ke lokasi, beliau sedang mengupas ketela yang ternyata pesanan orang. Katanya, daripada diam dan mengantuk.
Saat kami menanyakan usia mbah Wasini ini, simbah ini lahirannya 41. Lebih tua dari usia Indonesia ternyata.
“Mbah kakung pun boten wonten, dereng dangu. telung tahunan iki. (Mbah Kakung alias suaminya sudah tidak ada, belum lama, baru tiga tahunan ini).” katanya, yang mana sudah nyewu alias 1000 hari.
Untuk kisaran harganya, ketela ungu mulai dari 2000, ketela besar 5000, ketela sedang 4000, kimpul 4000. Cukup murah bukan? Dan ternyata tidak ada perbedaan antara harga ketela yang ia kupas dengan ketela yang masih utuh. Yang seperti beliau bilang tadi, aktivitas mengupas ketelanya ini adalah selingan ‘daripada ngantuk’ katanya.
Di sebelahnya, posisi yang kami tempati untuk duduk berbincang dengan beliau ini terlihat kosong. Kata mbah Wasini, yang disitu bukanlah termasuk lapaknya, namun lapak milik pedagang tempe yang hari itu tak kunjung datang.
Sembari kami bertanya-tanya, beberapa orang turut meramaikan jualan mbah Wasini ini. “Asal mula belanja jualan di pasar Prawirotaman pertama jualan di rumah. Kemudian ada kabar berdirinya pasar prawirotaman. Dulu kan adanya gubuk, jualannya ya di gubuk gitu belum dibangun seperti ini.”
Karena berada di kampung turis, kami cukup tertarik untuk berbincang mengenai pengunjung turis ke lapak beliau.
Kalau turis iya ada yang belanja hanya bersama dengan guide. biasanya ya beli sekilo-sekilo. Dulu banyak pelanggan waktu masih bersama mbah kakung jualan. Dia disini ngontrak dan waktu pindahan itu dia pamitan sampai foto bersama dan saya dikasih fotonya. Orang bule foto gitu setelah jadi nanti dikasih gambarnya. Terus waktu pindahan itu sampai pamitan ke saya.” Terangnya bahagia.
Lanjut, kami juga tertarik untuk mendengar kisah beliau tentang lapaknya di sini. “Dulu saya kulakan terus jualan di rumah itu, tapi saat ada kabar pembuatan pasar terus ikutan buat gubuk orang gak bayar. Ini kan gak bayar, hanya dikasih, gratis. Hanya tinggal tempatin saja. Setiap harinya hanya dikasih karcis 600 rupiah. Sebulan 18.000. Pokoknya kalau gak tertib bayar karcisnya dalam jangka waktu berapa bulan atau berapa tahun bisa dicabut. tapi selama lancar ya tidak ada masalah.”
Beliau sendiri kesini naik sepeda. Nanti barangnya ada yang nganterin, ya mas becak tadi itu. “Sudah langganan saya. Kalau nggak langganan mendadak harus mencari dulu. Kalau dulu bisa ngangkut sendiri. Lah sekarang usia saya saja sudah segini. Sudah gak kuat.”
Masalah ramainya jualan, biasanya para pedagang membandingkannya dengan hari biasa dan hari besar. Bagi mbah Wasini bukan demikian. “Jualan ramai ini ya dari langganan. Mereka kadang hanya lewat terus pesan nanti ditinggal biar kalau sudah selesai belanja yang lain tinggal diambil. kalau langganan yang beli itu juga orang jualan juga. Mereka punya usaha yang berbahan dasar ubi. Misalnya dibuat gethuk, geplak, di angkringan, dll.”
“Dari hasil ini, dapatnya ya ga pasti. Kalau langganan ambil semua ya laris. Yang penting bisa beli cabe.” pungkasnya.
Sepenggal kisah hidup baru dari seorang pedagang bernama mbah Wasini, pedagang ubi