Titipku.com – Di kawasan Jalan Kaliurang KM 7 bagian kanan jalan jika kamu berkendara dari Ring Road, bangunan renovasi wajah baru pasar Kolombo membuatmu otomatis menoleh. Pasar yang menghimpun ratusan pedagang ini menjadi pusat jual beli tradisional untuk kawasan Condongcatur dan sekitarnya. Aneka kain yang bergantung sesuai dengan usia, buah dan sayur yang tak kalah memantik mata. Dan disudut pasar bagian utara, ada satu yang memantik hati kami untuk singgah dan berbincang dengan beliau.
Namanya mbah Diyo, akrabnya saat kami singgah ke pasar Kolombo dan mendatangi los beliau yang kebetulan di pojok pertigaan lalu lalang pasar. Seluruh barang dagangan yang mengelilinginya adalah garam. Garam dapur maupun garam meja.
Seharinya beliau berangkat ke pasar dari pagi hingga 9. Tapi juga tidak mesti. Katanya, berangkat dan pulang dari pasar sesuai hatinya. Kalau masih ingin ya bisa lebih dari jam 9.
Saya berangkat sendiri pergi sendiri. Sesampainya badan saja, kalau kuat ya sampai siang, kalau tidak ya paling jam 9 sudah pulang.
Berbeda dengan dagangan sayur dan buah yang biasanya mengambil sendiri. Seluruh garam yang ada di lapaknya ada yang mengantarkan. Maklum, beliau juga sudah bukan usianya lagi untuk mengantar dan mengambil dagangan.
Beliau tinggal di kawasan Kulondayu, Dusun Jaban. Lokasinya tidak begitu jauh dari pasar Kolombo. Bagaimana dengan harganya?
Harganya tidak mesti. Ini 5 ribu, ini 10 ribu, ini 3.500, ini juga 2 ribu. Ya macam-macam. Garamnya juga kiloan.
Bukan Usia Muda, Namun Mbah Diyo Ini Tetap Bersemangat
Pencarian garam setiap orang berbeda sesuai selera. Kadang yang kecil, kadang yang besar. Juga soal merk garam yang paling laris, tidak pasti. Beruntung-beruntungan, katanya. “Yang beli ndak mesti. Karna garam ya habisnya juga lama. Beda dari jaman dulu. Sekarang sudah pada sedia, di warung-warung juga sudah ada garam-garam seperti ini.”
Jualan di pasar Kolombo sejak kapan, begini jawaban mbah Diyo. “Wah saya sebelum ada pasar Kolombo sudah berjualan keliling saya. Saya jualan garam emang khusus garam. Kalau di rumah ya saya istirahat saja. Nek ngene ki nggo kesibukan daripada bosen.”
Jualan keliling dan menjadikan jualan sebagai kesibukan, sebuah rutinitas yang penuh ‘makan garam’. Apalagi di usianya yang kini sudah tidak ditemani lagi oleh sang suami.
Mbah Kakung (suami) sudah tidak ada. Dah lama, saya juga lupa kapan. Dah dah puluhan tahun. Anak saya 2 lelaki semua, dah punya cucu saya, 5. Sudah kuliah semua.
Restoran-restoran begitu apakah ada yang beli borongan? ” Walah kalau sekarang orang beli itu sedikit dah gak ada yang borong. Kalau dulu banyak. Pokoknya berbeda dari jaman dahulu. Ini cuma buat hiburan saja.”
Usia yang sudah tidak lagi muda ini terlihat masih bersemangat berjualan. Meski saat kami temui tangan beliau terbalut kain kasa. “Pergi saya disini, pulang ya tak taruh sini. Jadi pulang pergi hanya bawa badan.”
Adanya ya seperti ini. Kalau garam semuanya yang penting asin.”Pungkasnya dengan ketawa renyah.