Titipku.com – Belajar dari berbagai orang dengan latar belakang mengagumkan selalu menjadi inspirasi kami. Bahwa, banyak sekali inspiratif yang tak harus dilakoni motivator. Salah satunya adalah Retha, wanita penggebrak dunia pertanian organik di desanya. Awal mulanya adalah sejak 2011 kepulangannya dari salatiga ke Jogja. Saat itu di Salatiga ia bekerja di bidang pertanian juga. Lalu dipraktekan di rumah sambil melanjutkan belajar karena ia masih penasaran dengan dunia pertanian.
Bicara soal pertanian ternyata sudah dari bibit keluarga. “Mulanya sampah dedaunan tidak langsung dibuang namun dijadikan pupuk untuk kemudian dibawa ke sawah. Waktu itu masih ditambahkan pupuk kimia, lama-lama berkurang dan sama sekali tidak menggunakan kimia.”
“Awal mulanya karena saya kalau makan saja pinginnya yang sehat. Kenapa orang yang harus beli yang harus mengeluarkan uang, harus saya racuni? Mulanya hanya menamam untuk konsumsi sendiri, beras saja tidak beli. Hingga suatu ketika ada teman yang “nempil” ingin coba juga. Namun kami memang tidak berjualan beras, lalu disarankan untuk jual sayur organiknya saja.”
Dibalik kisah suksesnya, siapa saja pasti mengalami masa sulit. Begitupun dengan Retha, ia juga pernah kapok menanam sayuran. “Kami nanam terong bagus. Suatu pagi sebelum kuliah saya bawa ke pasar, ternyata 1kg terong hanya dihargai 500 rupiah. Padahal organik dan bagus-bagus. Itu sekitar tahun 2011-2012. Akhirnya saya pulang saya nangis waktu itu, jerih payah bapak jerih payah saya hanya dihargai segitu. Akhirnya berhenti untuk dijual, adapun kalau tanam untuk konsumsi atau dibagi.”
Benar memang kalau di pasar umum memang tidak prioritaskan mana terong organik dan non organik, yang penting terong. Rata-rata petani menurut ayahanda Retha seperti itu, hasil pertanian dari harga beli konsumen hanya setengahnya saja. Miris yah? Hitung saja dari harga beli di pasar 6000, dari petani maksimal beli 2500- 3000. Ternyata kisah jual terong ini membuat duka cukup mendalam dari Retha karena hampir 2 tahun setelahnya tidak ingin menanam sayur untuk dijual lagi.
Modal Awal untuk Dirintis
Ide penanam rosela ini tidak lain dari basic keluarga yang merupakan keluarga petani. Katanya, ada tanah warisan dari kakek berukuran 1000 m persegi. “Kalau di kampung untuk petani ya kecil. Apalagi kalau di tanami sejenis.”
“Dulu saya mau nangis waktu isi kuisioner pendapatan orang tua. Sudah tak total dan tak tanya bapak kalau panen kira kira penghasilan per bulan berapa? rata rata berapa dan saya total dalam waktu 4 bulan, 1 juta sekian, berarti sebulan pendapatannya sekitar 150an ribu. Jaman dulu waktu masih mengikuti penduduk masa tanamnya.” ujarnya.
Saat pendampingan istilahnya Retha mendampingi petani-petani untuk pengembangan pertanian, namun terpikir akhirnya terpikir sendiri kebunnya justru tidak terawat. Lama-lama kegiatan yang diluar rumah ia kurangi dan akhirnya bisa sedikit fokus. Masih sedikit fokus karena sempat bantu juga di institut pertanian di jalan Magelang. Namun akhirnya pada bulan Maret memutuskan resign karena sakit pada waktu itu dan fokus ke kebun rutin. Hampir setiap pagi ke kebun sejak Juli 2018. Tetap bantu dosen juga tapi hanya satu dosen saja tidak seperti dulu yang sampai 5 dosen.
“Usaha ini yang penting saya bisa menggaji diri saya sendiri. Berapa sih UMR di Jogja? Nah kalau di pendidikan kan dihitungnya jam jadi tidak sampai sekian. Seharian kerja seharian berpikir berat, belum lagi kalau mahasiswa penelitian karena saya bertanggung jawab di lab. Akhirnya saya berpikir dan hitung pendapatan sekian, hasilnya lumayan jadi saya fokus urus kebun saya.” tambahnya
Selain untuk pendapatan keluarga, usahanya dengan Rosela dan sayuran organik adalah visi sosialnya yang tinggi. Kata Retha sendiri banyak sekarang orang muda bahkan sebaya darinya sudah tidak ada karena penyakit dari makanan yang ia konsumsi (kimia).
Marketing Kebun Keheningan
Lanjut perihal marketing yang dilakukannya bermula hanya dari teman. Dana penanamannya tidak banyak. Sudah menjadi fakta bahwa relasi itu ternyata penting. “Tadinya saya nanam rosela karena kepikiran, di Salatiga banyak yang cari rosela, kok di Jogja nggak ada ya, terus akhirnya saya cari benih dan di Salatiga. Jalan RE Martadinata, nah dari banyaknya biji yang coba ia tanam “meski mahal” yang tumbuh hanya 5. Dari lima saya kembangkan lagi, dan hasilnya cukup banyak.”
Menurut wanita yang akrab disapa Mbak Ning ini, nanam rosela ini gampang-gampang susah. Pasalnya setelah panen ia bingung jual dimana. awalnya mau dipangkas, tapi akhirnya ada temen dari temannya yang butuh rosela untuk selai. Penjualannya produknya sendiri di pasar organik. Mengapa? Karena kalau di pasar tradisional biasa tidak tercover. Pesanan juga cukup repot. Selain rosela, pesanan juga ada dari bunga telang. Untuk sayurannya sendiri, Retha juga mendapat pesanan dari resto vegan seperti selada, ubi, cabai, dan gandum.
Kendala Usaha
Seperti petani pada umumnya kendala yang ia alami yang jelas adalah musim. “Kalau petani harus jeli melihat musim. Kini saya harus membuat catatan karena setiap tahun berbeda. Bersyukur tahun ini bisa panen Rosela sampai November. Tahun lalu bulan September saya sudah berhenti dan Roselanya mengalami penggemukan jadi hanya vegetatif dan buahnya nggak ada. Sampai sekitar 6 bulan akhirnya baru panen sekitar bulan Februari menjelang Maret.”
Jenis Penjualan
Beda Harga Rosela Kering dan Rosela Segar
Yang pertama adalah penjualan Rosela segar yang dikenakan harga per kg Rp. 35.000. Kata mbak Ning ini mungkin ini harga yang cukup mahal daripada penjual rosela lainnya. Bedanya adalah kamu bisa beli dalam keadaan sudah tanpa biji. “Saya bisa saja jual dengan harga 20 ribu tapi silahkan bijinya dibersihkan sendiri. Nah karena kebanyakan tidak mau ribet jadi saya kasih harga bersih segitu.”
Packaging
Kedua adalah pada packagingnya tergantung pesanan, jika pesanan harus ke luar kota atau dalam jumlah banyak, maka bisa langsung pakai karung. Nah untuk pembelian misalnya 5 kg maka harus 10 kg panen rosela karena perbandingannya 50:50 dengan bijinya. Nanti juga karungnya akan dikembalikan. Itu dilakukan dari kesadaran setiap pembelinya sendiri.
Supplier dari budidaya sendiri
“Dalam usaha ini hanya berdua dengan bapak, saya sebenarnya saya asisten bapak. Kebetulan bapak senang di kebun dan saya berusaha melihat pasar dan melihat apa yang harus ditanam apa yang harus dibutuhkan konsumen sekarang.”
Orang sekarang pingin kembali seperti hidup di masa dulu lagi. Maka tidak heran jika peminatnya rata-rata adalah orang dewasa dan dengan mereka yang ingin melalui healthy lifestyle. “Dulu kebanyakan malah seniman yang mengonsumsi. Mbak Sunda Rumapea, ada yang pelukis. Intinya ada kesadaran untuk hidup sehat. Mereka sudah tahu bahwa di pasar produknya mulai tidak sehat. Dan (maaf) Retha sendiri sudah pernah survey ke petani yang ternyata luar biasa miris.”
Saat ditanya omset per bulan, tentu tidak pasti dan berbeda. Yang paling banyak adalah penjualan rosela. Setiap bulan ambil rata rata yang rosela nya saja yang pasti sekitar 150.000 x 4 itu untuk rosela saja. Harga untuk produknya selalu stabil, entah cabai, sayuran, maupun rosela itu sendiri. Menurutnya cabai yang tadi untuk kalangan organik termasuk dalam harga standar. Juga tomat mawar/tomat labu, di petani lain sekitar 30 ribu.
Nah ini dia yang menarik lagi ada tomat labu. Tomatnya memang mungil namun paling pas untuk pasta dan warnanya merah tanpa harus diberi pewarna. Adapun bunga talang biasanya digunakan untuk nasi biru dan minuman berwarna biru lainnya. (S/Titipku)
Beli Produk Kebun Keheningan dari Titipku, yuk!
Buat kamu yang ingin memesan produk-produk organik dari Kebun Keheningan ini kamu bisa membelinya melalui Titipku ya! 🙂