Titipku.com – Seminggu ini kita ramai lagi membahas kekhawatiran tentang mata uang kita Rupiah. Nilai Rupiah kembali melemah sehingga menembus level Rp. 15.000,00 per USD. Apakah Rupiah akan terus melemah? Banyak yang sepakat bahwa Rupiah melemah karena terseret dampak perang dagang global yang terus dipanasi oleh USA sejak Donald Trumph menjadi presiden negara adidaya tersebut. Apakah pertahanan Rupiah begitu lemah sehingga mudah jebol ketika ada isu negatif di luar sana? Memang Rupiah tidak sendirian melemah, mata uang negara-negara lain juga melemah. Tapi apakah tidak ada jalan lain sehingga harus ikut-ikutan terpeleset. Berikut ini sedikit kajian sederhana ala Titipku.
Kita perlu tahu bahwa mata uang suatu negara bergerak turun naik tergantung pada kondisi permintaan dan penawaran akan valuta asing. Saat ini mayoritas transaksi antar negara di dunia menggunakan mata uang USD, sehingga Rupiah juga sering diperbandingkan dengan USD. Jadi fluktuasi Rupiah terhadap USD ditentukan oleh tingkat kebutuhan seluruh komponen bangsa kita untuk transaksi yang menggunakan USD.
Setiap bulan pemerintah mengeluarkan data mengenai laporan Neraca Pembayaran Indonesia. Dari Neraca ini kita bisa membaca bagaimana mobilitas kebutuhan USD di Indonesia. Contoh sampai bulan Agustus 2018 ini Neraca Pembayaraan Indonesia deficit USD 4 Miliar USD atau rata-rata USD 0,5 Miliar per bulan. Artinya Impor Indonesia lebih banyak dari ekspor, sehingga kebutuhan USD meningkat dan Rupiah tentu saja melemah. Ditambah lagi dengan gejolak perang dagang membuat orang-orang ikut-ikutan beli USD sehingga membuat Rupiah tambah melemah.
Faktor Pengaruh Turunnya Rupiah
Jadi realitas naik turun Rupiah dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor rasional untuk kebutuhan transaksi barang jasa dan faktor psikologis yang berisi kekhawatiran-kekahwatiran. Jika kita ingin memperkuat Rupiah maka kita juga harus secara bersama-sama memperkuat pertahanan Rupiah di kedua faktor tersebut. Perlu kekompakan nasional untuk memperkuat Rupiah atau setidaknya memperlambat pelemahan Rupiah sampai pertahanan kita stabil.
Gerakan Cinta Rupiah yang didengung-dengungkan dengan mengajak rakyat kita beramai-ramai menukarkan USD menjadi Rupiah merupakan upaya psikologis untuk memperkuat Rupiah. Gerakan ini sangat positif, apalagi jika kita juga beramai-ramai mencari solusi faktor rasional yaitu mengendalikan kebutuhan impor barang. Ilustrasi di bawah ini tentang perhitung impor cukup menarik jika kita kaji.
Dari data Neraca Pembayaran total impor non migas RI selama 8 bulan mencapai USD 108,6 Miliar atau USD 13,6 Miliar perbulan yang jika dirupiahkan senilai Rp. 204 Triliun per bulan. Jika total penduduk Indonesia adalah 250 juta orang maka secara sederhana disimpulkan seolah-olah rata-rata satu penduduk Indonesia membelanjakan uang untuk barang impor senilai Rp. 816.000,00 per bulan. Jika seorang pekerja mendapat upah UMR perbulan Rp. 3,3 juta untuk menghidupi istri dan 2 anak, maka belanja barang impor 4 orang tersebut sebesar Rp. 3,2 juta per bulan yang artinya hampir 100% dari penghasilannya untuk barang impor.
Analogi di atas memang terlalu menyederhanakan permasalahan, namun cukup membuat kita terhenyak sesaat akan fakta bahwa ada kebiasaan buruk konsumsi di negara kita bahwa kita tidak menghargai barang produksi dalam negeri yang komponen impornya rendah. Kita semua lebih suka beli barang-barang yang makin membuat impor semakin besar dan memperlemah Rupiah. Cukup fantastis bahwa setiap penduduk secara tidak sadar menghabiskan hampir 100 % penghasilan digunakan untuk belanja barang impor.
Saatnya Rubah Kebiasaan Demi Rupiah
Adalah mimpi jika kita bisa memperkuat Rupiah dengan slogan Cinta Rupiah jika kita tidak mau mengubah kebiasaan-kebiasaan kita. Kita harus bisa mengendalikan pengggunaan barang-barang yang secara langsung atau tidak langsung mengandung komponen impor yang besar.
Impor bukan jelek, karena semua negara pasti mengimpor barang dari negara lain. Tidak ada negara yang bisa memproduksi semua kebutuhan di negaranya. Semua negara saling bergantung. Yang perlu dilakukan adalah mengendalikan impor sehingga yang diimpor adalah benar-benar kebutuhan kita.
Tingginya rasio penggunaan penghasilan untuk belanja barang-barang impor ini juga menunjukkan bahwa kita kurang peduli dan kurang membangun kemajuan barang-barang produksi lokal sendiri. Sulit bagi kita mendorong peningkatan ekspor produk kita ke negara lain jika di negara sendiri produk tersebut tidak dihargai. Alhasil kita terjebak pada lingkaran setan di mana kualitas produk lokal makin kalah dengan produk luar karena tidak bisa mencapai skala ekonomis produksi karena kurang diminati di negara sendiri. Dan jelas pekerjaan rumah ini buka tugas pemerintah saja, namun tugas bersama seluruh komponen bangsa.
Titipku hadir di Indonesia sebagai salah satu solusi untuk mengajak masyarakat kita beramai-ramai mencintai produk produki UKM lokal. Titipku mengajak para pengguna aplikasi untuk rajin mempromosikan produk UKM di daerah masing-masing dan para pengguna juga perlu aktif ikut membeli produk-produk UKM tersebut. Jika aktivitas ini dilakukan secara bersama-sama maka sebagian komponen impor bisa berkurang dan akhirnya bisa menurunkan volume impor nasional. Jika kita mampu menurunkan saja 10% impor perbulan maka kita hemat USD 1 Miliar dari impor sehingga Neraca Perdagangan jadi positif dan setidaknya Rupiah bisa terbantu.
Jika kamu terpanggil untuk memperkuat Rupiah, maka kamu bisa mencoba mengunduh aplikasi Titipku. Dan secara perlahan kamu bisa mencoba memahami betapa penting memajukan UKM nasional untuk kepentingan bersama dan untuk kepentingan kamu sendiri. – Titipku