Kampung Keparakan, Pusat Kerajinan Kulit di Kota Yogyakarta, Produknya Banyak Dijual di Malioboro
Di wilayah Yogyakarta terdapat sejumlah kampung yang menjadi sentra industri kerajinan yang layak anda kunjungi saat berada di Kota Gudeg ini.
Satu di antaranya adalah Kampung Industri Kerajinan Keparakan.
Maka tak heran sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai pembuat tas, jaket, sabuk, dan sandal dari kulit.
Satu di antara warga Keparakan yang menjadi pengrajin kulit adalah Bibit.
Warga yang tinggal di MG I/ 637 RT 35 RW 08 Keparakan Lor, Mergasan ini memproduksi tas kulit dan menjual karyanya ke pasaran Malioboro dan Pasar Beringharjo.
Tas kulit sapi untuk wanita dan pria produksi Bibit ini dibandrol mulai harga Rp 250 ribu.
Tak hanya memproduksi tas, Bibit juga membuat sabuk kulit yang satunya dijual dari harga Rp 80 ribu hingga Rp 200 ribu, serta dompet kulit seharga Rp 125 ribu.
“Kalau ada yang langsung beli ke sini juga bisa. Minimal pesan 6 buah tas dengan pola yang sama,” terang Bibit.
Bibit juga membuka jasa pembuatan jaket kulit. Hanya saja karena harga bahan baku yang mahal, jaket kulit hanya dibuat ketika ada pesanan.
“Kalau bahan baku jaket kulit pakai kulit domba. Harganya lebih mahal. Jaket kulit saya jual dari harga Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta,” tandasnya.
Untuk memenuhi kebutuhan kulit, para pengrajin Keparakan mendatangkan kulit dari Magetan.
Selain Bibit, pengrajin lain yang ada di Kampung Industri Kerajinan Keparakan adalah Subandi.
Workshop Subandi terletak di RT 58 RW 10 Keparakan Lor. Bandi memproduksi 100 pasang sandal setiap harinya
“Sandal-sandal ini dijual di Malioboro. Beberapa kota lain yang memesan sandal dari sini adalah Bekasi, Surabaya, dan Jakarta,” jelasnya.
Sandal dari bahan kulit dan vinel dijual dari harga Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu per pasang.
Jika ingin membeli langsung di workshop Bandi, pengunjung dikenakan minimal pembelian sandal sebanyak 5 pasang.
Sementara itu, Budi Wahyuno, mantan Ketua RW 13, menjadi saksi sejarah terbentuknya Kampung Industri Kerajinan Keparakan.
“Peresmian kampung industri keparakan sekitar tahun 2006-2007,” jelasnya.
Pemerintah Dinas Kebudayaan memberikan apresiasi warga Keparakan yang memiliki ketrampilan sebagai pengrajin kulit.
Penyematan nama kampung industri tersebut merupakan wujud dukungan pemerintah yang ikut serta menggerakan roda perekonomian di keparakan.
“Kalau suatu saat komitmen warga sudah matang, keparakan bukan hanya bisa menjadi sentra industri. Namun juga menjadi kampung wisata, dengan salah satu asetnya adalah Kali Code,” tandas Budi.(*)
sumber : http://www.tribunnews.com/travel